Assalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh
Bismilahirahmanirahim, Kali ini saya memposting atau mencopy sebuah artikel yang saya nilai cukup baik untuk di baca, di tadaburi dan di sebarkan. Sebelumnya maaf kalau ada salah kata yang memang tak berkenan di hati antum semuanya. Atas kunjungannya. Komentar kritik dan saran sangat saya harapkan. saya ucapkan selamat membaca.Kyai Khoiron, sudah populer sebagai kiainya para pelacur di Surabaya. Sehari-hari ia menjadi guru ngaji, konsultasn psikhologi dan bapak, kakak, sahabat yang sangat akrab dengan gemuruh jiwa para pelacur yang bergolak. Dua puluh tahun silam, diam-diam ia dirikan sebuah pesantren di komplek pelacuran terbesar di Surabaya. Dan saat ini ada tujuh ratus anak-anak pelacur itu nyantri di pesantrennya.
Jika senja mulai tiba, gincu-gincu mengoles bibir para pelacur itu, dengan segala sapaan manja pada hidung belang, sementara suara musik keras mendentang memenuhi komplek pelacuran itu, di sudut komplek pelacuran itu terdengar suara bocah-bocah mengaji, meneriakkan halawat Nabi dan berzanji. Keduanya berjalan damai.
“Saya tidak pernah melarang mereka melacur. Saya juga tidak memarahi mereka. Saya hanya menyiapkan ruang jiwa mereka. Sebab mereka melacur paling lama sepuluh tahun. Setelah? Mereka pasti berhenti. Mereka perlu kesiapan mental, keimanan dan sikap optimis kepada Tuhan,” katanya.
“Pesantren anda ini?”
“Memang, pesantren ini saya konsentrasikan untuk membina anak-anak mereka yang tak berdosa. Mereka harus tumbuh dengan jiwa yang merdeka, tanpa konflik, tanpa masa lalu dan trauma-trauma.”
***
Lain lagi dengan seorang Kiai di dekat kota Madiun. Kiai Madun, sudah dikenal sebagai seorang kiai Thariqat dengan jama’ah ribuan. Suatu hari ia tertimpa gejala psikhologi yang begitu aneh: Rasa takut mati yang berlebihan. Selama enam bulan ia terus menerus menangis, seakan-akan Malaikat Maut membuntutinya. Ia juga heran kenapa harus takut mati?
Saking takutnya, Kiai Madun mendatangi guru Mursyidnya. Dengan serta merta gurunya menyambut dengan sambutan yang cukup kontroversial. “Soal penyakitmu itu gampang obatnya. Mulai besok kamu pergi saja setiap hari ke komplek pelacuran!”
“Bagaimana pak Kiai ini, kok saya malah harus main-main dengan pelacur. Apakah ini tidak bertentangan dengan syari’at?” kata Kiai Madun dalam hatinya. Belum sempat ia meneruskan fantasinya, gurunya sudah memotong:
“Dun!, Lihatlah mulutku ini!”
Begitu melihat mulut gurunya, yang tampak adalah lautan luas tak bertepi. Kyai Madun hanya terperangah. Diam-diam ia menyesal. Kenapa soal-soal hakikat kehidupan harus ia pertanyakan lewat syariat kepada gurunya? Diam-diam pula hatinya menangis. Tapi juga muncul rasa ngeri, kenapa harus main-main dengan pelacur?
Tapi Kyai Madun tidak mau membantah perintah gurunya. Pagi-pagi Kiai ini sudah menghilang dari rumahnya. Ia cari komplek pelacuran yang jauh dari daerahnya. “Jalan penyembuhan” ini ia lakukan hampir setiap hari, sampai pelacur seluruh komplek itu kenal benar dengan Kyai Madun. Bahkan kadang, seharian penuh ia berada di tengah para perempuan penghibur itu, sambil mengingat-ingat, apakah rahasia dibalik perintah gurunya itu.
Suatu pagi, ketika ia datang ke komplek langganannya, tiba-tiba ada kakek-kakek tua, baru saja keluar dari sebuah kamar pelacur. Ia sangat kaget, melihat kakek yang sudah uzur, dan mendekati ajal itu, masih sempat ke komplek pelacuran. Bahkan dengan wajah berseri, riang gembira, layaknya anak muda, sang kakek penuh percaya diri layaknya anak muda.
“Iya, ya. Kakek ini sudah tua renta, kok tidak takut mati. Bahkan ia jalani kehidupan tanpa beban. Saya yang masih muda kok takut mati. Kualitas iman macam apa yang saya miliki ini?” katanya Kiai Madun dalalam hati.
Dengan wajah terangguk-angguk, Kiai Madun merasa mendapat pelajaran dari Kakek tua renta itu. Dan seketika pula rasa takut matinya hilang begitu saja.... Sembuh!!!..
Lain lagi dengan Kyai Marwan, dari Nganjuk. Kiai ini sudah hampir mendekati lima puluh tahun usianya, tetapi masih membujang. Keinginan untuk konsentrasi sebagai Kyai tanpa menghiraukan urusan dunia termasuk wanita, membuatnya menjadi bujang lapuk. Tapi soal kebutuhan penyaluran syahwat, tetap saja mengusik setiap hari. Apalagi kalau ia berfikir, siapa nanti yang mneneruskan pesantrennya kalau ia tidak punya putra?
Dengan segala kejengkelan pada diri sendiri dan gemuruh jiwanya, akhirnya Kiai Marwan istikhoroh, mohon petunjuk kepada Allah, siapa sesungguhnya wanita yang menjadi jodohnya?
Petunjuk yang muncul dalam istikhoroh, adalah agar Kyai Marwan mendatangi sebuah komplek pelacuran terkenal di daerahnya. “Disanalah jodoh anda nanti…” kata suara dalam istikhoroh itu.
Tentu saja Kyai Marwan menangis tak habis-habisnya, setengah memprotes Tuhannya. Kenapa ia harus berjodoh dengan seorang pelacur? Bagaimana kata para santri dan masyarakat sekitar nanti, kalau Ibu Nyainya justru seorang pelacur? “Ya Allah…! Apakah tidak ada perempuan lain di dunia ini?”
Dengan tubuh yang gontai, layaknya seorang yang sedang mambuk, Kyai Marwan nekad pergi ke komplek pelacuran itu. Peluhnya membasahi eluruh tubuhnya, dan jantungnya berdetak keras, ketika memasuki sebuah warung dari salah satu komplek itu. Dengan kecemasan luar biasa, ia memandang seluruh wajah pelacur di sana, sembari menduga-duga, siapa diantara mereka yang menjadi jodohnya.
Dalam keadaan tak menentu, tiba-tiba muncul seorang perempuan muda yang cantik, berjilbab, menenteng kopor besar, memasuki warung yang sama, dan duduk di dekat Kyai Marwan. “Masya Allah, apa tidak salah perempuan cantik ini masuk ke warung ini?” kata benaknya.
“Mbak, maaf, Mbak. Mbak dari mana, kok datang kemari? Apa Mbak tidak salah alamat?” tanya Kyai Marwan pada perempuan itu.
Perempuan itu hanya menundukkan mudanya. Lama-lama butiran airmatanya mulai mengembang dan menggores pipinya. Sambil menatap dengan mata kosong, perempuan itu mulai mengisahkan perjalanannya, hingga ke tempat pelacuran ini. Singkat cerita, perempuan itu minggat dari rumah orang tuanya, memang sengaja ingin menjadi pelacur, gara-gara ia dijodohkan paksa dengan pria yang tidak dicintainya.
“Masya Allah….Masya Allah…Mbak.. Begini saja Mbak, Mbak ikut saya saja. …” kata Kiai Marwan, sambil mengisahkan dirinya sendiri, kenapa ia pun juga sampai ke tempat pelacuran itu. Dan tanpa mereka sadari, kedua makhluk itu sepakat untuk berjodoh.
Tiga Kiai tersebut, sesungguhnya merupakan refleksi dari rahasia Allah yang hanya bisa difahami lebih terbuka dari dunia Sufi. Kiai Khoiron yang menjadi kiai para pelacur, sesungguhnya wujud dari kemerdekaan Sufistik pada kepribadian seseorang yang berani menerobos dinding-dinding verbalisme kultur agama, sebagaimana misteri Kyai Madun, yang harus sembuh di komplek pelacuran. Juga nasib bidadari yang ditemukan Kiai Marwan di komplek pelacuran itu. Semuanya menggambarkan bagaimana dunia jiwa, dunia moral, dunia keindahan dan kebesaran Ilahi, harus direspon tanpa harus ditimbang oleh fakta-fakta normatif sosial yang terkadang malah menjebak moral seorang hamba Allah.
Sebab tidak jarang, seorang Kiai, sering mempertaruhkan harga dirinya di depan pendukungnya, ketimbang mempertaruhkan harga dirinya di depan Allah. Dan begitulah cara Allah menyindir para Kiai, dengan menampilkan tiga Kiai Pelacur itu.....
Jika senja mulai tiba, gincu-gincu mengoles bibir para pelacur itu, dengan segala sapaan manja pada hidung belang, sementara suara musik keras mendentang memenuhi komplek pelacuran itu, di sudut komplek pelacuran itu terdengar suara bocah-bocah mengaji, meneriakkan halawat Nabi dan berzanji. Keduanya berjalan damai.
“Saya tidak pernah melarang mereka melacur. Saya juga tidak memarahi mereka. Saya hanya menyiapkan ruang jiwa mereka. Sebab mereka melacur paling lama sepuluh tahun. Setelah? Mereka pasti berhenti. Mereka perlu kesiapan mental, keimanan dan sikap optimis kepada Tuhan,” katanya.
“Pesantren anda ini?”
“Memang, pesantren ini saya konsentrasikan untuk membina anak-anak mereka yang tak berdosa. Mereka harus tumbuh dengan jiwa yang merdeka, tanpa konflik, tanpa masa lalu dan trauma-trauma.”
***
Lain lagi dengan seorang Kiai di dekat kota Madiun. Kiai Madun, sudah dikenal sebagai seorang kiai Thariqat dengan jama’ah ribuan. Suatu hari ia tertimpa gejala psikhologi yang begitu aneh: Rasa takut mati yang berlebihan. Selama enam bulan ia terus menerus menangis, seakan-akan Malaikat Maut membuntutinya. Ia juga heran kenapa harus takut mati?
Saking takutnya, Kiai Madun mendatangi guru Mursyidnya. Dengan serta merta gurunya menyambut dengan sambutan yang cukup kontroversial. “Soal penyakitmu itu gampang obatnya. Mulai besok kamu pergi saja setiap hari ke komplek pelacuran!”
“Bagaimana pak Kiai ini, kok saya malah harus main-main dengan pelacur. Apakah ini tidak bertentangan dengan syari’at?” kata Kiai Madun dalam hatinya. Belum sempat ia meneruskan fantasinya, gurunya sudah memotong:
“Dun!, Lihatlah mulutku ini!”
Begitu melihat mulut gurunya, yang tampak adalah lautan luas tak bertepi. Kyai Madun hanya terperangah. Diam-diam ia menyesal. Kenapa soal-soal hakikat kehidupan harus ia pertanyakan lewat syariat kepada gurunya? Diam-diam pula hatinya menangis. Tapi juga muncul rasa ngeri, kenapa harus main-main dengan pelacur?
Tapi Kyai Madun tidak mau membantah perintah gurunya. Pagi-pagi Kiai ini sudah menghilang dari rumahnya. Ia cari komplek pelacuran yang jauh dari daerahnya. “Jalan penyembuhan” ini ia lakukan hampir setiap hari, sampai pelacur seluruh komplek itu kenal benar dengan Kyai Madun. Bahkan kadang, seharian penuh ia berada di tengah para perempuan penghibur itu, sambil mengingat-ingat, apakah rahasia dibalik perintah gurunya itu.
Suatu pagi, ketika ia datang ke komplek langganannya, tiba-tiba ada kakek-kakek tua, baru saja keluar dari sebuah kamar pelacur. Ia sangat kaget, melihat kakek yang sudah uzur, dan mendekati ajal itu, masih sempat ke komplek pelacuran. Bahkan dengan wajah berseri, riang gembira, layaknya anak muda, sang kakek penuh percaya diri layaknya anak muda.
“Iya, ya. Kakek ini sudah tua renta, kok tidak takut mati. Bahkan ia jalani kehidupan tanpa beban. Saya yang masih muda kok takut mati. Kualitas iman macam apa yang saya miliki ini?” katanya Kiai Madun dalalam hati.
Dengan wajah terangguk-angguk, Kiai Madun merasa mendapat pelajaran dari Kakek tua renta itu. Dan seketika pula rasa takut matinya hilang begitu saja.... Sembuh!!!..
Lain lagi dengan Kyai Marwan, dari Nganjuk. Kiai ini sudah hampir mendekati lima puluh tahun usianya, tetapi masih membujang. Keinginan untuk konsentrasi sebagai Kyai tanpa menghiraukan urusan dunia termasuk wanita, membuatnya menjadi bujang lapuk. Tapi soal kebutuhan penyaluran syahwat, tetap saja mengusik setiap hari. Apalagi kalau ia berfikir, siapa nanti yang mneneruskan pesantrennya kalau ia tidak punya putra?
Dengan segala kejengkelan pada diri sendiri dan gemuruh jiwanya, akhirnya Kiai Marwan istikhoroh, mohon petunjuk kepada Allah, siapa sesungguhnya wanita yang menjadi jodohnya?
Petunjuk yang muncul dalam istikhoroh, adalah agar Kyai Marwan mendatangi sebuah komplek pelacuran terkenal di daerahnya. “Disanalah jodoh anda nanti…” kata suara dalam istikhoroh itu.
Tentu saja Kyai Marwan menangis tak habis-habisnya, setengah memprotes Tuhannya. Kenapa ia harus berjodoh dengan seorang pelacur? Bagaimana kata para santri dan masyarakat sekitar nanti, kalau Ibu Nyainya justru seorang pelacur? “Ya Allah…! Apakah tidak ada perempuan lain di dunia ini?”
Dengan tubuh yang gontai, layaknya seorang yang sedang mambuk, Kyai Marwan nekad pergi ke komplek pelacuran itu. Peluhnya membasahi eluruh tubuhnya, dan jantungnya berdetak keras, ketika memasuki sebuah warung dari salah satu komplek itu. Dengan kecemasan luar biasa, ia memandang seluruh wajah pelacur di sana, sembari menduga-duga, siapa diantara mereka yang menjadi jodohnya.
Dalam keadaan tak menentu, tiba-tiba muncul seorang perempuan muda yang cantik, berjilbab, menenteng kopor besar, memasuki warung yang sama, dan duduk di dekat Kyai Marwan. “Masya Allah, apa tidak salah perempuan cantik ini masuk ke warung ini?” kata benaknya.
“Mbak, maaf, Mbak. Mbak dari mana, kok datang kemari? Apa Mbak tidak salah alamat?” tanya Kyai Marwan pada perempuan itu.
Perempuan itu hanya menundukkan mudanya. Lama-lama butiran airmatanya mulai mengembang dan menggores pipinya. Sambil menatap dengan mata kosong, perempuan itu mulai mengisahkan perjalanannya, hingga ke tempat pelacuran ini. Singkat cerita, perempuan itu minggat dari rumah orang tuanya, memang sengaja ingin menjadi pelacur, gara-gara ia dijodohkan paksa dengan pria yang tidak dicintainya.
“Masya Allah….Masya Allah…Mbak.. Begini saja Mbak, Mbak ikut saya saja. …” kata Kiai Marwan, sambil mengisahkan dirinya sendiri, kenapa ia pun juga sampai ke tempat pelacuran itu. Dan tanpa mereka sadari, kedua makhluk itu sepakat untuk berjodoh.
Tiga Kiai tersebut, sesungguhnya merupakan refleksi dari rahasia Allah yang hanya bisa difahami lebih terbuka dari dunia Sufi. Kiai Khoiron yang menjadi kiai para pelacur, sesungguhnya wujud dari kemerdekaan Sufistik pada kepribadian seseorang yang berani menerobos dinding-dinding verbalisme kultur agama, sebagaimana misteri Kyai Madun, yang harus sembuh di komplek pelacuran. Juga nasib bidadari yang ditemukan Kiai Marwan di komplek pelacuran itu. Semuanya menggambarkan bagaimana dunia jiwa, dunia moral, dunia keindahan dan kebesaran Ilahi, harus direspon tanpa harus ditimbang oleh fakta-fakta normatif sosial yang terkadang malah menjebak moral seorang hamba Allah.
Sebab tidak jarang, seorang Kiai, sering mempertaruhkan harga dirinya di depan pendukungnya, ketimbang mempertaruhkan harga dirinya di depan Allah. Dan begitulah cara Allah menyindir para Kiai, dengan menampilkan tiga Kiai Pelacur itu.....
wallohualam bisshowab...
semoga bermanfa'at
semoga bermanfa'at
0 komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa ya di Koment Sob...hehehe